Rezim yang “Merakyat” Tapi Menyusahkan Rakyat
Ditolak Pendukung Sendiri
Koordinator
Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK Indro Tjahyono menyatakan siap turun ke
jalan jika BBM jadi dinaikkan (Beritasatu.com, 10/11). Menurut dia,
kenaikan BBM merupakan agenda para mafia minyak. Teman sejawat Jokowi, Walikota
Solo FX Hadi Rudyatmo, yang juga Ketua DPC PDI-P Kota Solo, secara tegas siap
menggelar aksi demonstrasi jika rencana tersebut jadi diwujudkan akhir November
ini. Sebagian kepala daerah juga telah mengungkapkan penolakan atau
ketidaksetujuan atas rencana kenaikan harga BBM itu.
Anggota
DPR dari Fraksi PDI-P Effendi Simbolon juga meminta Presiden Joko Widodo
(Jokowi) tidak terburu-buru menaikkan harga BBM (Beritasatu.com, 10.11).
Tidak Konsisten
Kebijakan
menaikkan harga BBM juga menunjukkan bahwa Jokowi dan PDI-P tidak konsisten. Tentu
masyarakat masih ingat, PDI-P dan Jokowi keras menolak rencana kenaikan harga
BBM pada 2012 lalu. Jokowi yang saat itu menjadi
walikota Solo menolak rencana kenaikan harga BBM. Menurut dia, semua rakyat
pasti menolak rencana kenaikan BBM(27/3/2012). Jokowi bahkan meminta agar
menanyai satu-persatu masyarakat. Menurut dia, rakyat pasti menolak rencana
itu. Namun, mengapa sekarang Jokowi ngotot ingin naikkan harga BBM,
padahal dia sudah tahu rakyat pasti menolak?
Kala itu Sekjen DPP PDI-P Tjahjo
Kumolo menginstruksikan ke seluruh struktur partainya se-Indonesia untuk
menolak rencana pencabutan subsidi dan kenaikan harga BBM (Republika,
17/3/2012). PDI-P bahkan menginstruksikan kadernya untuk turun ke jalan. PDI-P
juga membuat buku putih. Di dalamnya disebutkan bahwa banyak cara lain selain
menaikkan harga BBM. Jika kini PDI-P mendesak bahkan menginstruksikan petugas
partainya, Jokowi, untuk segera menaikkan harga BBM, sudah lupakah dengan semua
itu?
Alasan Ngawur
Untuk membenarkan rencana
kenaikan harga BBM, berbagai alasan diungkapkan Pemerintah. Sebagiannya terkesan
ngaco dan ngawur. Pertama:
dikatakan bahwa anggaran yang digelontorkan selama ini salah arah. Menurut
Menteri ESDM Sudirman Said, subsidi BBM harus dialihkan untuk hal-hal
produktif. “Selama lima tahun ini subsidi BBM sudah mencapai Rp 700 triliun
lebih. Jadi, kalau kita lihat kebelakang, ternyata kita telah mengeluarkan uang
hanya untuk dibakar saja,” katanya (Inilah
REVIEW, Edisi 12/IV). Bahkan
ada ungkapan, “Masak Rp 400 triliun hanya dibakar jadi asap.” Ini sungguh
ungkapan ngawur.
BBM itu seperti makanan untuk
tubuh agar bisa melakukan berbagai aktivitas produktif. Jika ditotal, ribuan
triliun habis untuk makan rakyat negeri ini. Tentu tidak ada yang berani
mengatakan, “Ternyata selama ini ribuan triliun hanya dimakan dan jadi kotoran
yang dibuang.” Faktanya, BBM digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi. Hasil
dari “pembakaran” BBM itu sangat besar dan “menghidupkan” masyarakat.
Kedua: dinyatakan bahwa subsidi BBM
itu konsumtif. Alasan ini tak kalah ngaco-nya.
Harus diingat, kehidupan sehari-hari rakyat negeri ini banyak bergantung pada
BBM. Ada jutaan nelayan yang mencari ikan; jutaan petani yang menggerakkan
traktor mereka; jutaan mahasiswa, pelajar dan pegawai/pekerja pulang-pergi
menggunakan kendaraan; jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM
untuk menggerakkan usaha mereka. Semua itu tentu kegiatan produktif. Semuanya
bisa berjalan karena adanya BBM yang dibakar itu. Jadi, ngawur yang bilang
semua itu hanya konsumtif.
Ketiga: Dinyatakan bahwa subsidi BBM
salah sasaran karena lebih banyak dinikmati orang kaya, artinya BBM subsidi
lebih banyak diminum mobil mewah. Faktanya tidak begitu. Hasil Sensus Ekonomi
Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65%-nya adalah rakyat
kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang
kaya.
Data Korp Lalu Lintas Kepolisian
RI mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada
2013 mencapai 104,211 juta unit. Mayoritasnya,86,253 juta unit adalah
sepeda motor. Lalu mobil penumpang 10,54 juta unit; mobil barang (truk, pikap,
dan lainnya) 5,156 juta unit; bus 1,962 juta unit dan kendaraan khusus 297.656
unit. Dari mobil penumpang yang 10,54 juta unit, hanya sebagian kecil yang
berupa mobil mewah, kira-kira 5%-nya. Itu artinya, BBM subsidi yang dinikmati
oleh orang kaya dan pemilik mobil mewah sangatlah kecil, apalagi tak sedikit
mobil mewah yang memakai BBM non-subsidi.
Menyusahkan
Rakyat
Alasan utama Pemerintah
menaikkan harga BBM adalah untuk mengurangi beban subsidi yang dikatakan sudah
sangat membebani APBN. Dalam APBN-P 2014 memang disebutkan subsidi ditetapkan
sebesar Rp 403 triliun (subsidi BBM Rp 246,5 triliun, subsidi listrik Rp 103,8
triliun dan subsidi non-energi Rp 52,7 triliun). Subsidi ini dianggap beban sehingga
harus dihilangkan. Caranya yang paling gampang tentu dengan mencabut subsidi
tersebut.
Padahal ada beban yang jauh
lebih besar dari sekadar subsidi, yakni beban utang. Akibat utang yang terus membesar
(total utang Pemerintah per 30 September 2014 adalah Rp 2.601,72 triliun), APBN
tiap tahun tersedot untuk bayar cicilan pokok dan bunga. Sampai September 2014,
pembayaran bunga mencapai Rp 103,352 triliun dan cicilan pokok Rp 170,062
triliun, total Rp 273,412 triliun. Dalam pagu APBN 2014, cicilan pokok Rp
247,696 triliun dan cicilan bunga Rp 121,386 triliun, totalnya Rp 368,981
triliun. Dalam APBN-P 2014, cicilan bunga Rp 135,453 triliun. Sejak 2010 total
cicilan pokok dan bunga utang selalu diatas 230 triliun pertahun. Mengapa ini
tidak dianggap beban? Mengapa bukan beban utang dan bunganya ini yang dikurangi
atau dihilangkan? Apalagi selama ini utang sering mengalami kebocoran. Belum
lagi bunganya yang jelas-jelas haram karena merupakan riba, sementara riba
termasuk dosa besar.
Jika Pemerintah kreatif dan mau
kerja keras, sebenarnya potensi pemasukan APBN itu sangat besar. Sekadar
contoh, produksi batu bara di negeri ini pada tahun 2013 mencapai 421 juta ton.
Jika biaya produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014
US$ 74 perton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lain,
tembaga. Menurut Data BPS, tahun 2012 produksi tembaga 2.385.121metrik ton.
Jika mengacu pada rata-rata biaya produksi dan harga jual tembaga PT Freeport
tahun 2012 sebesar US$ 1,24 dan US$3.6 per-pound, maka potensi pemasukan dari
tembaga Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah
mencapai Rp 374 triliun. Sayangnya, pos pemasukan tambang non-migas pada RAPBN
2015 hanya Rp 30 triliun. Padahal komoditas tambang di negeri ini amat melimpah.
Selain minyak dan gas, ada emas, nikel dll yang bernilai ribuan triliun rupiah.
Jika Pemerintah mau kerja keras mengelola sendiri SDA tambang dan migas itu (tidak
diserahkan kepada swasta/asing), maka ribuan triliun bisa didapat Pemerintah tiap
tahun.
Begitu pula jika Pemerintah mau
kerja keras mengalihkan gas Tangguh yang selama ini dijual ke Fujian Tiongkok,
Korsel, Jepang dan AS dengan harga murah; lalu dialihkan untuk PLN meski dengan
harga sama, tentu bisa dihemat puluhan triliun bahkan bisa mencapai Rp 100
triliun.
Sayangnya, Pemerintah maunya
cari cara yang gampang, enggan kerja keras dan yang pasti ingin selalu menyenangkan
pihak asing meski harus dengan menyusahkan rakyat sendiri.
Wahai
Kaum Muslim:
Kebijakan menaikkan harga BBM
tidak lain untuk menyukseskan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan
distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi)
sempurna dilakukan. Liberalisasi migas hakikatnya adalah memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada swasta (asing) seraya mengurangi peran negara. Kebijakan
ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat. Padahal rakyatlah pemilik
sejati sumberdaya alam itu. Yang lebih menyakitkan, liberalisasi dilakukan sekadar
untuk memenuhi tuntutan pihak asing (IMF, Bank Dunia, ADB, USAID, dll). Hanya demi
menyenangkan pihak asing, Pemerintah tega mengabaikan keinginan mayoritas
rakyatnya. Jika demikian, kebijakan menaikkan harga BBM itu pantas disebut
sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat!
Andai saja Pemerintah bersikap
amanah dan mau kerja keras, niscaya kisruh BBM tidak akan terjadi. Jika Pemerintah
yang katanya mendapat mandat rakyat mau mendengarkan rakyat, niscaya juga tidak
akan berpikir menaikkan harga BBM yang akan menyusahkan rakyat.
Hendaknya siapapun yang
mengurusi rakyat, apalagi mereka Muslim, takut konsekuensi buruk kebijakan itu,
baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi Rasul saw. telah berdoa:
«اللَّهُمَّ مَن
ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ»
Ya Allah, siapa
saja yang mengatur suatu urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka
susahkanlah dia; dan siapa saja yang mengatur suatu urusan umatku, lalu dia
berlaku baik kepada mereka, maka perlakukan dia dengan baik (HR Ahmad dan Muslim)
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
disalin dari
Al-Islam edisi 730, 21 Muharram 1436 H-14 November 2014 M
Al-Islam edisi 730, 21 Muharram 1436 H-14 November 2014 M