RENUNGAN KEMERDEKAAN:
Kemerdekaan Yang Hakiki
Oleh: Ustadz Adam Cholil (Pengajar di HSG Khoiru Ummah Gresik)
Bulan ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke 68. Kesemarakan menyambut hari bersejarah itu sudah nampak dari jauh-jauh hari. Spanduk, lampu hias, bendera, sampai baliho-baliho besar bertuliskan ucapan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Iklan-iklan ucapan selamat hari kemerdekaan dan acara spesial kemerdekaan dimedia massa pun bertebaran menambah gegap gempita menyambut hari bersejarah itu.
Namun dibalik kesemarakan itu masih terselip pertanyaan dibenak kita; benarkah kita sudah merdeka? Pasalnya kita banyak melihat disana-sini fenomena yang menunjukkan hal sebaliknya. Dalam aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun budaya kita banyak mendapatkan kenyataan bahwa masyarakat kita masih jauh dari kemerdekaan. Begitu juga dengan perilaku individunya, banyak yang masih membebek kepada kehidupan yang tidak sesuai dengan akhlak Islam. Padahal Indonesia adalah negri Muslim terbesar di dunia. Dan The Founding Father kita mengakui dengan jujur dalam mukaddimah undang-undang dasar 1945, bahwa kemerdekaan ini diraih atas berkat rahmat Allah swt. Artinya dalam mengisi kemerdekaan ini hendaknya kita tidak boleh melupakan Tuhan yang telah memberi kita nikmat kemerdekaan ini.
Kemerdekaan yang Menyeluruh
Suatu Negara bisa dikatakan merdeka secara hakiki apabila kemerdekaan tersebut terjadi secara menyeluruh dalam semua pilar-pilarnya. Kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam konteks Negara semata tetapi juga individu dan masyarakat yang menjadi pengisi sebuah Negara. Dalam konteks individu kemerdekaan berarti terbebasnya seseorang dari tekanan hawa nafsunya dalam melakukan segala aktifitasnya. Menurut DR. Ing. Fahmi Amhar (Arti Kemerdekaan Hakiki dalam Perspektif Islam, 2001), individu yang merdeka ialah seorang yang ketika ia bersikap dan berperilaku akan selalu di dasarkan kepada pertimbangan rasional. Dan bagi orang yang beriman pertimbangan rasionalnya adalah ketika ia menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Allah swt. Imam Ali ra. mengibaratkan hal tersebut dalam satu ungkapan; ”Seorang budak beramal karena takut hukuman, pedagang beramal karena menginginkan keuntungan, dan orang merdeka beramal karena mengharap keridhaan dari Allah swt.”
Maka jika ada seorang manusia dalam kehidupannya senantiasa dikendalikan hawa nafsu maka berarti dia belum menjadi orang merdeka yang sebenarnya. Meskipun ia bukan seorang budak dan hidup di sebuah masyarakat dan Negara merdeka. Karena ia terbelenggu oleh hawa nafsunya yang senantia memaksanya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan akal sehatnya. Kehidupannya selalu terjajah oleh hawa nafsunya sendiri sehingga mengakibatkan terjerumusnya ia kejurang kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah swt. berfirman:
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Naazi’aat:37-39).
Dalam Tafsir Fathul Qadir Imam As-Syaukani mengatakan; orang yang melampaui batas adalah yang melampaui batas dalam kekufuran dan maksiat kepada Allah. Lebih mendahulukan dunia ketimbang akhirat. Sedangkan Imam Al-Baidhawi menyatakan, maksud ayat di atas adalah; adapun orang yang melampaui batas hingga dia kufur serta memilih kehidupan dunia dan tidak mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat dan membersihkan diri dari hawa nafsu maka tempat kembalinya adalah neraka.
Sedangkan dalam konteks masyarakat, kemerdekaan adalah ketika mereka tidak lagi menjadi pengekor pola pikir, budaya dan bahkan agama para penjajah. Masyarkat yang merdeka memiliki pola pikir, budaya dan agama yang khas yang membedakan mereka dari masyarakat lain (Fahmi Amhar, 2001). Kita bisa menjadikan masyarakat Madinah sebagai contoh masyarakat yang merdeka secara hakiki. Setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai menata masyarakat di sana dengan kehidupan yang Islami yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Semula persatuan masyarakat dibangun di atas landasan kesukuan yang sangat rapuh dan sering memunculkan pertikaian di sana-sini, maka kemudian dirubah menjadi berlandaskan agama yang kokoh dan memunculkan ketentraman dan kedamaian. Budaya yang semula mengikuti budaya jahiliyah warisan nenek moyang yang dipenuhi takhayyul dan khurafat diganti menjadi budaya yang Islami yang rasional dan bernilai luhur.
Adakah masyarakat kita saat ini memiliki pola pikir dan budaya yang terlepas dari pola pikir dan budaya para penjajah? Jawabannya bisa kita dapatkan di sekeliling kita. Mulai dari cara berbusana, makan, bergaul, bertetangga dan lainnya masyarakat kita sangat jauh dari ciri khas masyarakat Islam. Walaupun busana yang dipakai oleh masyarkat kita hasil rancangan para desainer dalam negri, kain yang digunakannya adalah batik buatan dalam negri tetapi modenya jelas mengikuti tren mode dunia yang dikendalikan Negara-negara penjajah. Pergaulan yang membudaya di tengah masyarakat kita tidak bebas dari tren pergaulan dunia. Mulai dari anak remajanya sampai kepada orang dewasa. Semua merasa malu jika tidak mengikuti gaya hidup kaum penjajah yang dikemas dengan rapi dan menarik. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berada di bawah kendali para penjajah. Akhlak mereka tengah dihancurkan secara sistematis.
Ternyata kita baru terlepas dari belenggu penjajahan secara fisik saja. Sementara pola kehidupan masyarakat kita tidak berbeda dengan kondisi saat dijajah. Maka tidak heran walapun negri ini sudah 68 tahun lepas dari cengkeraman penjajah tetapi tidak pernah mengalami kebangkitan yang ada malah kebangkrutan. Mengapa ini terjadi? Karena racun yang ditinggalkan oleh para penjajah terus kita minum setiap hari. Bahkan kita telah ketagihan meminum racun tersebut. Sehingga kalau habis maka kita pun merengek-rengek minta diracun lagi. Racun itu bernama pemikiran dan budaya para penjajah. Kebebasan berekspresi, pornografi dan pornoaksi, pergaulan bebas, sikap individualistik, hedonisme, dugem, dan sejenisnya adalah sederet pemikiran penjajah yang masih membudaya dan bahkan seperti telah menjadi ciri khas masyarakat kita. Padahal masyarakat kita adalah masyarakat religius, memiliki budaya yang luhur yang berlandaskan kepada agamanya yaitu Islam. Tetapi semua itu digerus oleh badai budaya asing penjajah sehingga kita tidak lagi memiliki identitas yang unik sebagai sebuah masyarakat yang berlandaskan agama.
Sedangkan Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari Negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja Negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Karena umat Islam yakin hanya dengan menjalankan aturan Allah saja-lah mereka akan menjadi umat yang maju yang tidak akan bisa dijajah oleh Negara mana pun. Hal tersebut telah dibuktikan oleh kaum Muslimin dimasa lalu. Inilah kemajuan dan kebangkitan umat yang dijanjikan Allah di dalamAl-Qur’an:
24:55
…dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur:55)
Ibnu Katsir mengatakan; ayat ini adalah janji dari Allah kepada Rasulullah saw. bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai penguasa di muka bumi. Yakni umat Islam akan menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa lain. Saat itulah seluruh negri akan mendapatkan kesejahteraan dan semua manusia tunduk kepada mereka. Tidak ada lagi ketakutan seperti yang selama ini menerpa kaum Muslimin.
Namun semua itu akan terjadi jika kaum Muslimin benar-benar memegang teguh keimanannya dan mengamalkan agamanya secara konsekuen dalam seluruh kehidupannya. Wallahu a’lam bishshawab.